Gedung KUA Kecamatan Cangkringan

Di gedung inilah, Kantor Urusan Agama Kecamatan Cangkringan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Beralamatkan di Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman 55583.

Sarasehan Kaum Rois

Kegiatan sarasehan Rois ini dilaksanakan oleh KUA kecamatan Cangkringan. Menurut Kepala KUA Kecamatan Cangkringan, Eko Mardiono, S.Ag., M.S.I., Sarasehan Kaum Rois tersebut diikuti oleh 125 orang..

Bimbingan Manasik Haji

Para jamaah calon haji kecamatan Cangkringan sedang mengikuti Bimbingan Manasik Haji yang diselenggarakan oleh KUA Kecamatan Cangkringan bekerja sama dengan IPHI Kecamatan setempat.

Bantuan Sosial Belia Mabims

Para generasi muda dari negara-negara MABIMS (Majelis Antarnegara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) melakukan bantuan sosial kepada para korban erupsi Merapi di Selter Gondang III Wukirsari, Cangkringan.

Sarasehan Songsong Ramadan

Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan menjaga ukhuwah Islamiyah, KUA Kecamatan Cangkringan mengadakan Sarasehan Songsong Ramadan.

Songsong Ramadan

Songsong Ramadan

Bansos Belia Mabims

Bansos Belia Mabims

Manasik Haji

Manasik Haji

Sarasehan Rois

Sarasehan Rois

Gedung KUA

Gedung KUA
Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta...............Sebelum Masuk, Silakan Isi Buku Tamu Terlebih Dahulu...............KUA Kecamatan Cangkringan Siap Melayani Anda dengan Ramah dan Amanah...............Pascaerupsi Merapi 2010, Marilah Kita Bangkit dan Bangun Kembali Cangkringan...............Terimakasih atas Kunjungan Anda, Semoga Membawa Manfaat.

Sabtu, 30 April 2011

Pelayanan Persuratan NR


Tatacara dan Prosedur Pelayanan Permohonan Surat
A.      Prosedur Pelayanan Surat Pengantar Nikah dan Rujuk
1.      Calon pengantin melampirkan surat keterangan nikah (Model N1, N2, N3, dan N4) dari desa/kelurahan setempat;
2.      Foto copy KTP dan Akte Kelahiran;
3.      Surat pengantar dari desa/kelurahan yang mencantumkan nama, binti, dan alamat lengkap calon isteri;

B.       Prosedur Pelayanan Duplikat NTCR
1.      Surat pengantar dari desa/kelurahan yang mencantumkan nama, alamat, nomor register NTCR yang bersangkutan;
2.      Surat kehilangan dari pihak berwajib apabila surat NTCR-nya hilang;
3.      Surat keterangan dari desa/kelurahan apabila surat NTCR-nya rusak dengan disertai sisa-sisa kerusakannya;
4.      Pas Foto 3 x 4 sebanyak 2 lembar berlatarbelakang warna biru.

C.       Prosedur Pelayanan Legalisasi Surat-surat NTCR
1.      Foto copi surat-surat NTCR minimal 2 lembar;
Menyertakan surat-surat NTCR yang asli.

Peristiwa Erupsi Merapi 2010

 Gunung Merapi setelah tenang kembali pasca letusan dahsyat
pada 04 Nopember 2010 dini hari.


Dampak awas panas dan muntahan material vulkanik Merapi
di wilayah Kaliadem dan sekitarnya

 Letusan beruntun Merapi sejak pagi sampai letusan dahsyat
pada Kamis, 04 Nopember 2010
 
Dampak terjangan awan panas Merapi
di daerah Umbulharjo bagian atas

Dusun Ngancar, Glagaharjo luluh lantak
akibat keganasan terjangan awan panas Merapi

Timbunan material vulkanik Merapi
menutup sepanjang jalan utama desa Glagaharjo

 Gumpalan asap bercampur belerang di sungai Gendol
membumbung tinggi akibat guyuran hujan deras

Masjid Hancur Akibat Bencana Merapi 2010

Masjid-masjid Rusak Akibat Bencana Merapi 2010

Masjid Al-Muttaqin Ngepringan, Wukirsari

Masjid Al-Hidayah Gungan, Wukirsari

Masjid Al-Himah Ngrangkah, Umbulharjo

  Masjid Nur Iman Pangukrejo, Umbulharjo

Masjid  Baiturrahman Kalitengahlor, Glagaharjo

Masjid Nurul Hikmah Kalitengahkidul, Glgaharjo

Gedung KUA Cangkringan

Gedung KUA Cangkringan Tampak Depan 1


Gedung KUA Cangkringan Tampak Depan 2

Jumat, 29 April 2011

Al-Zaitun Disorot Terkait NII, Kemenag Terus Memantau


Jakarta (Solopos.com)--Pesantren Al Zaytun di Indramayu pimpinan Panji Gumilang selalu disorot begitu isu NII meruak. Banyak pihak yang mengkait-kaitkan Al Zaytun dengan kegiatan NII.
Menyikapi itu, Kementerian Agama (Kemenag) meminta masyarakat tidak asal tuding. Harus ada bukti kuat. Namun pihak Kemenag sudah memantau.
“Banyak mata tertuju kepada Al Zaytun, tetapi sikap pemerintah terhadap Al Zaytun harus hati-hati, ada ribuan anak-anak yang tidak berdosa,” kata Dirjen Binmas Islam Kemenag, Prof Dr Nasaruddin Umar, saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (27/4/2011).
Nasaruddin menjelaskan, di Al Zaytun terdapat ribuan santri, nasib pendidikan dan masa depan mereka dipertaruhkan, jadi jangan sampai ada sikap asal tuduh.
“Apakah institusi atau oknumnya karena teman-teman yang ke sana di pondok tidak ada yang aneh. Tapi kalau ada kekuatan yang menuding terkait NII, kita akan bicarakan,” ujarnya.
Dia menjelaskan perlu ada penelitian seksama terkait Al Zaytun. Namun pihak Kemenag juga akan meminta agar Al Zaytun melakukan pembuktian bahwa mereka bersih.
“Kami juga meminta mereka terbuka kepada publik,” imbuhnya.
Sementara itu, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menyatakan sudah mengumpulkan saksi serta dokumen untuk menyeret Panji Gumilang, Pimpinan Ponpes Al Zaytun yang mereka duga kuat adalah pimpinan Negara Islam Indonesia (NII) KW 9, ke pengadilan.
“Dari dulu kami tidak pernah berhenti melaporkan, namun aparat polisi selalu minta bukti kuat bahwa NII KW 9 itu ada hubungannya dengan Al Zaytun yang dipimpin Panji Gumilang,” ujar Ketua FUUI Athian Ali kepada wartawan saat jumpa pers di Masjid Al Fajr, Jalan Cijagra, Selasa (26/4/2011).
Tim Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2002 pernah meneliti kaitan antara Negara Islam Indonesia (NII) dengan Pesantren Al Zaytun, Indramayu. Hasilnya, memang ada penyimpangan dari ajaran Islam.
“Ya saya kira hasilnya itu ditemukan kaitan kepemimpinan antara Al Zaytun dengan NII KW 9, pemimpinnya yaitu Panji Gumilang,” jelas Ketua MUI Ma’ruf Amin pada 14 April 2011.
Penelitian itu, jelas Ma’ruf dilakukan pada mantan pengajar Al Zaytun, informasi berbagai pihak dan sumber-sumber. Hasilnya, terdapat penyimpangan dalam ajarannya.
“Ada penyimpangan dalam pemahamannya, misalnya soal zakat, nabi,” jelas Ma’ruf.
Sementara itu, pengurus Pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jabar, menyangkal lembaganya terkait NII.
“Al Zaytun ini pusat pendidikan, pengembangan budaya toleransi, bukan yang lainnya. Dan Al Zaytun ini berdiri di atas legal formal di bawah Yayasan Pesantren Indonesia,” terang Sekretaris Pesantren Al Zaytun, Abdul Halim, kepada detikcom, Kamis (14/4/2011).

Sumber: http://www.solopos.com

Sektarianisme NII Bahaya Laten bagi NKRI


Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Jumat, 29 April 2011
JAKARTA (Suara Karya): Segenap komponen bangsa di Tanah Air didesak bersama-sama bertindak cepat dan tegas dalam mengantisipasi Negara Islam Indonesia (NII).

Sebab, apabila lengah, gerakan radikal bawah tanah itu menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejauh ini, organisasi tersembunyi tersebut berkembang pesat dan sangat sistematis dan intensif, bahkan terfokus merekrut mahasiswa dan pelajar yang menjadi generasi penerus bangsa.
Demikian dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, dan Menteri Agama Suryadharma Ali, yang disampaikan secara terpisah di Jakarta kemarin.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, Kementerian Agama turun tangan mengatasi merebaknya pengaruh gerakan NII KW 9. Kemenag akan menggandeng organisasi mahasiswa Islam seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
"Langkah berikutnya, lebih mengaktifkan organisasi-organisasi ekstra kemahasiswaan yang sudah kita kenal akarnya seperti HMI, PMII, dan IMM. Sudah kita kenal akar pemahaman keagamaannya," kata Menteri Agama usai penutupan Musrenbangnas 2011 di Jakarta, Kamis (28/4).
Langkah yang lain, menurut Suryadharma, yakni mengumpulkan kanwil-kanwil Kementerian Agama se-Indonesia pada 12-13 Mei mendatang. Pertemuan itu dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada pejabat Kemenag di daerah agar lebih waspada terhadap ancaman NII maupun gerakan Islam radikal lainnya.
Di lain pihak, MUI mengaku sudah mencurigai entitas NII di lingkungan Ponpes Al Zaytun. Kecurigaan tersebut telah dilaporkan kepada Mabes Polri sejak 2002 silam, tetapi hingga kini belum jelas tindak lanjutnya.
"Soal NII itu sudah kami laporkan ke Mabes Polri, tapi tidak ada kelanjutannya," ujar Ketua MUI Amidhan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Kecurigaan tersebut berdasarkan hasil penelitian MUI ke Ponpes Al Zaytun pada 2002 silam. Sistem pendidikan yang diterapkan dinilai sama sekali tidak bermasalah, tetapi temuan MUI mengenai entitas NII memunculkan kegelisahan.
Terlebih salah satu materi pelajarannya cenderung kepada radikalisme. Setiap orang yang bukan bagian NII digolongkan sebagai umat yang kafir, sehingga harta benda mereka sah dikumpulkan bagi kepentingan NII.
Di tempat berbeda, Polda Metro Jaya melakukan pendekatan preventif atau pencegahan terhadap kegiatan NII. "Keberadaan NII merupakan fenomena sosial. Kepolisian mengambil langkah preventif," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Baharudin Djafar di Jakarta kemarin.
Baharudin mengatakan, langkah pencegahan seperti menggelar diskusi, pertemuan, penyuluhan, dan koordinasi guna menghindari tindakan yang berhubungan dengan aksi kejahatan.
Baharudin menyatakan, pihak kepolisian mengedepankan peran anggota intelijen dan keamanan (intelkam) guna mengambil langkah pencegahan terhadap potensi tindak kriminal yang dilakukan NII.
Perwira menengah kepolisian itu menambahkan, fungsi intelkam mengumpulkan dan menyerahkan data keberadaan NII kepada Biro Operasi. Kemudian Biro Operasi menganalisis yang akan disebarkan kepada Direktorat Pembinaan Masyarakat (Binmas) dan berkoordinasi dengan seluruh direktorat.
Baharudin menegaskan, kepolisian bisa melakukan langkah represif seperti penangkapan, penggeledahan, dan penahanan terhadap orang yang mengaku NII, jika ada masyarakat dirugikan dan melapor kepada polisi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak tujuh hari terakhir ini melakukan pengawasan khusus terhadap aktivitas Maahad (Pondok Pesantren) Al Zaytun di Kabupaten Indramayu.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menduga kuat Al Zaytun sebagai markas penyebaran NII. "Pengawasan khusus ini dilakukan atas hasil rumusan bersama Polda Jabar dan Kodam III Siliwangi," kata Ahmad Heryawan.
Pengawasan itu perlu dilakukan, menurut dia, untuk mengantisipasi potensi gangguan keamanan dan penyebaran ideologi ekstrem. Meski demikian, menurut Heryawan, tidak sampai memantau isi ceramah dan khutbah.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=277718

Kamis, 28 April 2011

Izin Poligami Seorang Isteri

Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Sepenuh hatikah seorang isteri mengizinkan suaminya berpoligami? Pertanyaan ini mengemuka karena semua pernikahan poligami pasti memerlukan izin isteri terdahulu. Di lapangan pun telah terjadi beberapa peristiwa perkawinan poligami. Padahal, Kantor Urusan Agama baru melaksanakannya jika ada izin dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sendiri baru memberikan izin poligami bila isteri pertamanya terlebih dahulu telah memberikan izinnya. Hal itu berarti bahwa dalam realita telah ada beberapa isteri yang telah memberikan izin poligami kepada suaminya. Namun, persoalannya sekarang adalah apakah pemberian izin isteri itu diberikan secara tulus? Apakah tidak mungkin izin itu mereka berikan karena mereka tidak kuasa menolaknya?
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan gambaran dan kondisi seorang isteri ketika ia akan memberikan keputusan izin poligami kepada suaminya. Pemaparan ini dilakukan dengan cara menelusuri kembali dinamika konsultasi keluarga di BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) Kecamatan. Penelusuran ini pun ditempuh dengan harapan nantinya bisa ditemukan sebab-sebab beserta konteksnya ketika seorang isteri harus memberikan izin kepada suaminya untuk beristeri lebih dari seorang. Uraian dalam tulisan ini sifatnya hanya deskriptif kasuistik sesuai dengan peristiwa yang penulis alami.

B. Demi Nama Baik Keluarga Suami
Ada seorang suami muda yang melakukan pernikahan poligami. Suami muda tersebut baru berusia 22 tahun. Pernikahannya juga baru seumur jagung. Pernikahan pertamanya belum genap berjalan 4 bulan. Pernikahan dengan lebih dari seorang isteri itu bermula dari pergaulan masa mudanya yang melewati batas. Akibatnya, sang pemudi hamil di luar nikah. Entah kenapa, sang pemuda justru menikahi gadis lain. Pemudi itu pun menuntut pertanggungjawaban sang pemuda. Apa boleh dikata, sang pemuda sudah berstatus suami wanita lain. Dari sinilah, peristiwa poligami bermula.
Suami ini, sang pemohon pernikahan poligami, berpenghasilan tidak tetap. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemain kesenian tradisional, Jathilan. Pada saat itu, tahun 2000, ia hanya mempunyai pendapatan Rp. 250.000,- setiap bulan. Padahal, salah satu syarat mengajukan permohonan poligami adalah mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi dua orang isteri dan anak-anaknya. Dalam kasus ini pun muncul beberapa permasalahan serius. Apakah pemuda tersebut akan dibebaskan dari tanggung jawab? Lantas, bagaimana nasib gadis malang yang telah dihamilinya beserta anaknya? Persoalan-persoalan seputar inilah yang dikonsultasikan kepada BP4 Kecamatan.
Saya pun sebagai konsultan BP4 mencoba untuk mengemukakan beberapa alternatif solusi dengan berbagai konsekuensinya. Pertama, tetap menjaga keutuhan keluarga monogami. Masalah anak yang lahir di luar nikah sebagaimana menurut hukum yang berlaku, ia dinasabkan kepada ibunya. Lalu, sebagai bentuk pertangungjawaban dan jika ibunya menghendaki, hak asuh (hadhanah) anaknya dipindahkan kepada lelaki yang menghamilinya. Suatu saat nanti, pemudi yang terlanjur hamil pranikah itu dapat melangsungkan pernikahan dengan lelaki lain. Kedua, keputusannya dikembalikan kepada isteri pertama. Bila isteri sahnya ini sudah tidak mau lagi menerima suaminya karena ia telah merasa dikhianati suaminya, maka isteri tersebut dapat menempuh jalur perceraian. Setelah bercerai nanti, pemuda tersebut lantas dimintai pertanggungjawaban untuk menikahi pemudi yang telah dihamilinya. Solusi kedua ini pun bisa menjadikan semua pihak mendapatkan status hukum dan sosial yang jelas. Ketiga, alternatif terakhir, yakni menempuh pernikahan poligami sebagaimana yang dikehendaki suami. Namun, alternatif ketiga ini akan membawa beberapa konsekuensi serius.
Setelah bermusyawarah, para pihak pun bersepakat untuk memilih alternatif ketiga, yakni poligami. Dalam pengambilan keputusan poligami ini ada beberapa pertimbangan yang cukup menarik. Ternyata, semua pihak menyadari bahwa penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kedua isteri dan anak-anaknya. Penghasilannya hanya Rp. 250.000,- setiap bulan. Untuk mengatasinya, orang tua suami dan orang tua calon isteri kedua menyanggupi akan ikut menanggung beban ekonomi keluarga poligami itu. Selain itu, yang juga menarik, pertimbangan isteri pertama dalam memberikan izin poligami adalah demi menjaga nama baik keluarga suaminya. Pertimbangan itu tidak didasarkan pada kepentingan atau kebaikan keluarganya sendiri. Demi menutupi aib keluarga suami, ia pun rela mengizinkan suaminya berpoligami.
Ada juga pertimbangan lain yang sempat terungkap. Ternyata, alternatif pernikahan poligami lebih dipilih adalah demi mencarikan kejelasan status anak yang dikandung. Jangan sampai anak yang bersangkutan lahir tanpa ayah yang sah. Masalah bagaimana keberlangsungan pernikahan poligami selanjutnya dipikirkan belakangan. Kalaupun seandainya di tengah perjalanan pernikahannya bubar, toh semua pihak telah mendapatkan status hukum dan sosial yang jelas.
Kenyataannya pun menunjukkan, bahwa setelah dilangsungkannya pernikahan poligami dan sesaat setelah isteri kedua melahirkan anaknya, isteri muda itu pun lantas pergi ke Malaysia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sejak itu pula komunikasi antara dia dan suaminya terputus. Anak semata wayangnya diserahkan kepada kakek dan neneknya, justru tidak kepada ayah kandungnya. Yang terpenting bagi mereka, anak yang tidak berdosa itu mempunyai ayah dan ibu yang sah dan diakui oleh negara.
Memang, dalam kasus seperti ini isteri pertama dalam posisi yang sangat dilematis. Bila ia tidak mengizinkan suaminya berpoligami, bagaimana dengan nasib anak dan gadis yang telah dihamili suaminya. Sebaliknya, jika ia mengizinkan suaminya berpoligami, siapkah ia menerima kenyataan itu? Kalau pun seandainya ia menempuh alternatif bercerai, sudah siapkan ia hidup menjadi seorang janda? Persoalan-persoalan itulah yang berkecamuk di pikiran sang isteri yang harus membuat keputusan segera. Akhirnya, demi nasib sesama kaumnya dan demi nama baik keluarga suaminya, isteri itu pun mengizinkan suaminya berpoligami.

C. Khawatir Suami Berbuat Dosa
Pekerja cleanning servis pun berpoligami. Pekerja itu berpenghasilan Rp. 400.000,- setiap bulan. Peristiwa ini terjadi di penghujung akhir tahun 2005. Pertimbangan utama istri pertama memberikan izin poligami kepada suaminya adalah karena ia khawatir suaminya berbuat dosa. Kekhawatiran ini muncul setelah suaminya berkenalan dengan seorang janda beranak satu. Padahal sebenarnya hubungan antara suami dan janda itu belum begitu jauh dan belum sampai melanggar norma-norma agama dan susila.
Oleh karenanya, ketika mereka datang ke BP4 Kecamatan, saya tawarkan sebuah solusi. Mereka saya sarankan, sebaiknya rencana poligami tersebut diurungkan saja. Dalam kasus seperti itu, sangat tidak beralasan suami mengajukan permohonan poligami. Adalah sesuatu yang wajar apabila seorang laki-laki tertarik kepada lawan jenisnya. Merupakan sesuatu yang normal jika kaum Adam menganggumi kaum Hawa. Begitu juga sebaliknya. Memang, Allah swt sudah menitahkan umat manusia itu tertarik kepada lawan jenisnya, harta benda, dan perhiasan dunia lainnya. Namun persoalannya, apakah ketertarikan tersebut harus dituruti begitu saja tanpa kendali? Sudah barang tentu tidak.
Sebenarnya kehidupan rumahtangga keluarga yang akan berpoligami ini tergolong wajar-wajar saja. Mereka telah dikaruniai dua orang anak. Istrinya pun mampu menunaikan kewajibannya, begitu juga suaminya. Hak dan kewajiban mereka juga terpenuhi. Walaupun penghasilan mereka setiap bulan hanya Rp. 400.000,-, tetapi mereka sudah merasa cukup. Mereka juga tidak mendapatkan penyakit atau cacat badan tetap. Akan tetapi, mengapa mereka akan berpoligami dan tetap bersikukuh akan tetap melangsungkannya? Oleh karena itu, berhubung mereka sudah tidak mau dicegah, mereka pun saya buatkan surat pengantar ke Pengadilan Agama setempat untuk mendaftarkan sidang permohonan pernikahan poligami.
Setelah menjalani beberapa kali sidang, ternyata permohonan pernikahan poligami itu dikabulkan. Padahal, secara jelas permohonan poligami itu tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Majlis hakim yang menyidangkannya pun mengakui akan hal itu. Secara ekplisit dalam putusan itu dinyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa permohonan izin poligami pemohon meskipun tidak terpenuhi syarat-syarat izin poligami sebagaimana pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975, namun hal ini dilakukan demi kemaslahatan Pemohon, Termohon I, dan Termohon II karena pada dasarnya Termohon I rela dimadu dan Pemohon sanggup berlaku adil dan mempunyai nafkah yang cukup, maka permohonan pemohon akan lebih besar mudhorotnya apabila hal itu ditolak sesuai kaidah: menolak kerusakan didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.”

Pertanyaannya sekarang adalah apa pertimbangannya sehingga majlis hakim mengabulkan permohonan poligami walaupun tidak memenuhi persyaratan peraturan perundangan? Sebagaimana terbaca dalam putusan, ternyata pertimbangan utama hakim adalah demi kemaslahatan bersama, baik bagi Pemohon, Termohon I, ataupun Termohon II. Selain itu, sebagaimana tertera dalam “Tentang Pertimbangan Hukum”nya, hakim juga mempertimbangkan bahwa suami dikhawatirkan akan berbuat yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan agama.
Bagi saya, penggalian hukum oleh hakim ini sangatlah menarik untuk dicermati. Tampaknya, hakim berpandangan bahwa seandainya permohonan poligami ini tidak dikabulkan, maka yang akan terjadi adalah tiga kemungkinan. Pertama, suami tadi akan menjaga diri untuk tidak lagi mendekati janda calon isteri keduanya. Namun, tampaknya naluri hakim mengatakan lain, bahwa yang terjadi pasti tidak demikian. Yang akan terjadi justru dua kemungkinan berikutnya. Yaitu, sebagai kemungkinan kedua, bahwa suami itu justru akan menempuh pernikahan poligami sirri, atau sebagai kemungkinan yang ketiga, bahwa suami tersebut malah akan melakukan kumpul kebo.
Dari sini, tampaknya pertimbangan yang digunakan oleh majlis hakim dan isteri pertama adalah sama. Yaitu, sama-sama mengkhawatirkan terjadinya dua kemungkinan terakhir. Suami dikhawatirkan akan melanggar hukum dan ketentuan agama. Seakan tiada guna apabila suami yang sudah bersikukuh akan berpoligami tidak dizinkan permohonannya. Pasti, suami itu akan menggunakan caranya sendiri, melakukan poligami sirri atau kumpul kebo.
Dalam kasus seperti ini, untuk menjaga keutuhan rumahtanggannya adakah pilihan lain bagi isteri pertama selain memberikan izin kepada suaminya untuk berpoligami? Di sinilah letak pengorbanan besar seorang isteri dalam upayanya menjaga keutuhan sebuah keluarga. Kalau demikian, tidak terpaksakah isteri tersebut dalam memberikan izin poligami kepada suaminya?


D. Ternyata, Tidak Hanya Karena untuk Menyantuni Anak Yatim
Pada akhir tahun 2008 ada seorang laki-laki datang ke BP4 Kecamatan, tempat saya bertugas. Lelaki tadi datang tidak sendirian. Ia bersama seorang perempuan berumur 35 tahunan. Mereka kelihatan serasi dan harmonis, bahkan sedikit mesra. Sesaat setelah duduk, lelaki tadi pun segera memberitahukan maksud kedatangannya. Ia berkonsultasi bahwa dirinya akan melakukan pernikahan poligami. Ia pun bertanya tentang seluk-beluk dan persyaratan pernikahan poligami di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Ia juga bertanya tentang pernikahan sirri, termasuk poligami sirri.
Saya pun segera menjelaskan secara panjang lebar tentang dampak buruk dan madarat dari pernikahan sirri, terutama bagi pihak perempuan dan anak-anak yang dilahirkannya. Kepadanya, saya lontarkan sebuah pertanyaan, mengapa harus memilih nikah sirri? Apa sulitnya melaksanakan pernikahan secara resmi di Kantor Urusan Agama? Saya juga menginformasikan, selama persyaratannya sudah lengkap, maka pernikahannya akan dapat dilaksanakan. Kalaupun di Kantor Urusan Agama ada beberapa persyaratan, itu adalah demi kebaikan bagi yang bersangkutan, yaitu supaya pernikahannya mempunyai kekuatan hukum.
Lelaki itu pun mengulangi lagi maksud kedatangannya ke BP4 Kecamatan bahwa ia akan beristeri lebih dari seorang. Pertimbangan utamanya adalah agar ia bisa menyantuni anak-anak yatim. Dengan poligami, ia akan bisa ikut merawat dan mengasuh mereka sebab ibunya adalah seorang janda tinggal mati yang berpenghasilan tidak tetap. Mereka sangat membutuhkan uluran tangan untuk menyongsong masadepannya. Menurut pengakuan suami tadi, isteri pertamanya juga sudah menyetujui dan memberikan izin.
Orang perempuan yang sejak tadi mendampingi laki-laki itu menganggukkan kepala. Katanya, “Ya, sebagai isteri pertama, saya setuju dan rela suami saya menikah lagi.” Saya terperanjat. Perempuan cantik dan tampak masih muda itu ternyata isteri pertama dari lelaki yang berada di hadapan saya. Sebelumnya, saya mengira dialah calon isteri keduanya. Dalam pikiran saya timbul tanda tanya, mengapa pasangan suami isteri yang kelihatan begitu harmonis dan serasi akan berpoligami? Betulkah niat dan tujuan suami itu berpoligami adalah hanya untuk menyantuni anak yatim? Kalau tujuannya memang demikian, haruskah dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim itu?
Saya pun mengapresiasi tujuan mereka. Saya katakan kepada mereka, “Sangatlah mulia apabila Bapak dan Ibu berkenan untuk menyantuni anak-anak yatim. Sebetulnya niat luhur Bapak dan Ibu ini dapat direalisasikan dengan cara mengasuh anak-anak yatim itu dengan hak hadhanah melalui Pengadilan Agama. Memang, hak hadhanah ini tidak sampai menimbulkan hubungan waris mewaris, tetapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan porsi warisan bagi anak hadhanah melalui lembaga wasiat wajibah. Jadi, hak anak hadhanah pun dijamin oleh peraturan perundangan. Dengan demikian, Bapak dan Ibu tetap bisa menyantuni anak-anak yatim tanpa harus menempuh pernikahan poligami.”
Setelah saya menyampaikan tentang alternatif hadhanah anak, lelaki tadi pun kemudian menyampaikan apa adanya alasan-alasan mengapa ia akan berpoligami. Ternyata, selain alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, ia akan berpoligami juga karena ia menginginkan keturunan lagi. Padahal, isteri pertamanya sudah tidak mau lagi mengandung dan melahirkan anak. Untuk diketahui saja, sebenarnya isteri pertama itu sudah memberikan suaminya dua orang anak.
Semula saya mengira bahwa rencana poligami ini memang murni untuk menyantuni anak-anak yatim. Saya menduga, tidak ada persoalan di antara kedua suami isteri itu. Akan tetapi, setelah terungkap, ternyata ada permintaan suami yang dibebankan kepada isterinya. Yaitu, isteri pertama dituntut untuk mau mengandung dan melahirkan anak lagi. Kalau isteri pertama tidak mau, maka suami akan menempuh pernikahan poligami. Dari sini saya menjadi tahu bahwa ternyata rencana pernikahan poligami lelaki tersebut tidak murni didasarkan pada keinginan untuk menyantuni anak-anak yatim, tetapi ada satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh isteri pertamanya, yaitu mau mengandung dan melahirkan anak lagi.
Walaupun akan dimadu, isteri pertama itu begitu setia mengantar dan mendampingi suaminya dalam mencari persyaratan pernikahan poligami, mulai dari RT, RW, kepala dusun, kelurahan, KUA, sidang Pengadilan Agama, sampai kembali ke KUA lagi untuk mendaftarkan dan melangsungkan pernikahan poligami. Apa sebabnya dan mengapa hal itu bisa terjadi? Ternyata, setelah saya mencari informasi dari penduduk sekitarnya, hal itu dikarenakan kedua suami isteri tersebut mengikuti kelompok pengajian tertentu, sehingga isteri pertama itu bersikap dan bertindak seperti itu. Saya tidak tahu persis kelompok pengajian apa yang mereka ikuti. Melihat cara mereka berbusana, sebenarnya tidak ada yang eksklusif. Isteri pertama tersebut berpenampilan santun dan berpakaian “nasional”, tidak berjilbab apalagi bercadar.
Kemudian, pada saat pelaksanaan ijab qabul pernikahan poligami dilangsungkan, isteri pertama tersebut juga menghadirinya. Memang, akad nikahnya hanya dilaksanakan di balai nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan. Tidak banyak yang menghadiri. Hanya ada satu orang wali dan dua orang saksi. Dalam pelaksanaan akad nikah itu, saya pun memperhatian. Isteri pertama itu duduk agak ke belakang. Padahal ada beberapa kursi di depan yang kosong. Ia hanya diam dan tampak begitu tegar. Begitu saya melafazkan kalimat ijab, suaminya selesai mengucapkan kalimat qabul, dan saya sebagai penghulu menyatakan pernikahannya sudah absah, saya perhatikan, isteri pertama itu pun meneteskan airmata. Akan tetapi, saya tidak tahu apakah itu airmata kebahagiaan sebab ia telah berhasil mengantarkan suaminya berpoligami, ataukah karena ia merasa bahwa sejak saat itu suaminya sudah tidak lagi menjadi miliknya seorang. Sudah ada perempuan lain yang juga ikut memilikinya. Tentunya, hanya dia lah yang mengetahuinya.

E. Penutup
Berdasarkan pengalaman beberapa peristiwa konsultasi pernikahan poligami sebagaimana dipaparkan di depan, ternyata pemberian izin poligami oleh isteri pertama kepada suaminya tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi yang melingkupi. Bahkan, dalam banyak kasus, isteri pertama senantiasa dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis. Akhirnya, demi menjaga keutuhan rumahtangga dan pertimbangan-pertimbangan lain, banyak isteri pertama yang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan izin poligami bagi suaminya.
Sumber: ekomardion

Tanggal Menjadi Janda

Oleh: Eko Mardiono

A. Pendahuluan
Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah, antara melarang dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan hal yang mustahil. Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya.[1] Sebaliknya, kebebasan tanpa batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut, bahaya, dan kerusakan. Hal semacam itu tidak mungkin dibiarkan.[2]

Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami dengan melihat kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam bukanlah merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci (sacramental vow), tetapi sintesis keduanya. Oleh karena itu, perceraian dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya, juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.[3]
Islam membenci terjadinya perceraian. Hal ini terlihat dengan adanya sabda nabi Muhammad SAW :

أبغض الحلال الى الله الطلاق [4]
dan sabdanya :

أيما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غيرما بأس فحرام عليها رائحة الجنة [5]
Islam mengizinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus terjadi dalam rumahtangga. Lagi pula, setelah dipertimbangkan bahwa bercerai itulah yang lebih baik bagi mereka daripada terus hidup membara kalbu dalam satu rumahtangga.[6] Perceraian itu dibolehkan justru untuk menjawab kebutuhan dasar manusia itu sendiri,[7] yaitu demi kemaslahatan salah satu dari suami isteri, keduanya, atau keduanya bersama anak-anaknya.[8]

Kalaupun dalam kitab-kitab fikih ada kesan mudah terjadinya talak, misalnya pernyataan talak yang diucapkan sambil mabuk, gurau, atau omong kosong yang kemudian dipertimbangkan beberapa ulama sebagai hal yang absah,[9] dan misalnya keputusan khalifah Umar yang menetapkan bahwa pernyataan talak tiga sekaligus dihukumi jatuh talak tiga yang berarti tidak bisa dirujuk (kembali),[10] semua itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan setiap lelaki yang akan mentalak isterinya.


Jelaslah bahwa dalam fikih, perceraian tidak dikehendaki kejadiannya. Demikian juga dengan hukum perkawinan Islam di Indonesia. Di dalamnya ditetapkan asas “mempersukar terjadinya perceraian”.
Asas “mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat dengan adanya ketentuan : (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, (2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, (3) tata aturan perceraian di depan sidang pengdilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[11]


Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.[12]

B. Identifikasi Permasalahan
Dalam upaya realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian” sebagaimana telah dideskripsikan di depan, maka kalau dicermati dalam satu kasus perceraian, Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk hukum. Bagi cerai talak, Pengadilan Agama mengeluarkan tiga produk hukum, yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3) akta cerai. Sedang bagi cerai gugat, ada dua produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) akta cerai.


Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.[13]
Sedangkan, penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berpekara dengan lawan.[14]


Akan tetapi, di lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara yang berupa penetapan tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi sebagai “penggugat” dan “tergugat”.[15] Hal ini dikarenakan pemohon ketika menggunakan haknya bisa mendapat perlawanan dari termohon, misalnya permohonan pemohon (suami) agar sidang menyaksikan pengucapan ikrar talak kepada isterinya. Oleh karena itu, dalam kasus ini pengadilan sebelum mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih dahulu mengeluarkan putusan “gugatan”, sehingga dalam satu perkara bisa ada beberapa produk peradilan.


Pengadilan Agama setelah mengeluarkan penetapan (bagi cerai talak) dan putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama akan mengeluarkan produk hukum lainnya, yaitu berupa akta cerai.


Adanya beberapa produk hukum ini dalam aplikasinya menimbulkan problema yuridis: mulai kapan seorang perempuan dihitung menjadi janda? Apakah sejak tanggal dikeluarkannya putusan, penetapan, ataukah sejak dikeluarkannya akta cerai? Tampaknya, di kalangan Pelaksana Undang-undang Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, Penghulu, ataupun Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, terjadi keragaman dan kerancuan pemahaman. Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh (kadang-kadang) ketidaktepatan pihak kepaniteraan Pengadilan Agama dalam membubuhi tanggal dalam akta cerai.


Pengkajian persoalan ini begitu urgen karena berkaitan erat dengan masa tunggu (iddah) seorang janda, yang pada gilirannya nanti menentukan keabsahan perkawinan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dicarikan solusi yuridisnya.

C. Menghitung Tanggal Menjadi Janda
Untuk menentukan tanggal menjadi janda seorang perempuan guna menghitung mulainya masa iddah, tulisan ini akan menjadikan Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1997 Model A.III.3 (blangko Akta Cerai) sebagai bahan kajian dengan menggunakan tiga aspek pendekatan, yaitu (1) gramatikal, (2) format akta, dan (3) yuridis formal.

1. Pendekatan Aspek Gramatikal
Yang dimaksud pendekatan aspek gramatikal di sini ialah pengkajian permasalahan dengan cara menganalisis tatabahasa, jenis, dan susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. Pendekatan gramatikal ini dilakukan untuk mengetahui mana gagasan pokok atau pesan utama kalimat tersebut dalam akta cerai.


Secara lengkap, redaksi kalimat yang dipakai dalam Model A.III.3 ini adalah sebagai berikut :
“Panitera Pengadilan Agama ……………………..…. menerangkan, bahwa pada hari ini ……………….. tanggal …………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ……………………………………...14 ….H., berdasarkan ………………………………………………………………... nomor …………..…………………. tanggal ………………… 20 … M., yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara : ……………”.

Kalimat di atas menggunakan susunan kalimat majmuk bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Induk kalimatnya adalah :
“Panitera Pengadilan Agama ............................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “

Sedangkan anak kalimatnya adalah :
“berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Pesan dalam anak kalimat hanyalah bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat sebagai tambahan keterangan.[16]


Apabila anak kalimat dalam akta cerai tersebut diletakkan di awal kalimat, maka kalimat majmuk bertingkat tersebut akan menjadi :
“Berdasarkan ………………………………………………………………. nomor ………………..……...………. tanggal ……......………. 20 …. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Agama ................................................... menerangkan, bahwa pada hari ini ...................... tanggal ……………………. 20 …. M., bersamaan dengan tanggal ………...……………… 14 …. H., terjadi perceraian antara : …………………. “

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal yang tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian sekaligus sebagai tanggal akta cerai, sedangkan tanggal yang tercantum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian. Jadi, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Dengan kata lain, kapan terjadinya perceraiannya? Jawabannya adalah saat dikeluarkan akta cerai.

2. Pendekatan Aspek Format Akta
Pengkajian dengan pendekatan aspek ini adalah penelaahan permasalahan dengan cara menganalisis bentuk dan format akta. Dengan pendekatan aspek ini, akan bisa diketahui kedudukan beberapa tanggal yang tercantum dalam berbagai bagian akta.


Sudah menjadi stándar yang baku bahwa jika diklasifikasikan, sebuah akta terdiri dari tiga bagian : (1) kepala akta, (2) tubuh akta, dan (3) kaki akta. Kepala akta memuat : identitas nama dan alamat pemilik akta (kop), nomor dan tanggal akta. Tubuh akta memuat: isi akta. Sedangkan kaki akta memuat: tempat dan tanggal pembuatan akta, dan nama dan tanda tangan pembuat akta serta tembusan-tembusan. Khusus masalah tanggal pembuatan akta, tanggal akta dapat dimasukkan ke dalam kepala akta dan juga dapat dimasukkan ke dalam kaki akta. Yang jelas, tidak dimasukkan ke dalam tubuh akta.[17]


Kemudian alau dicermati, dalam blangko akta cerai (Model A.III.3) pada kepala dan kaki aktanya tidak terdapat tanggal yang menujukkan tanggal pembuatan akta. Tanggal pembuatan akta justru “dimasukkan” ke dalam tubuh akta. Hal ini terlihat dengan adanya kata-kata “ini” dalam tubuh akta, yaitu : “bahwa pada hari “ini” ………….. tanggal ………………….” Format akta semacam ini menunjukkan bahwa secara formal akta cerai langsung dibuat pada saat itu juga, yaitu ketika sebuah perceraian terjadi.


Dengan demikian, dapat dikonklusikan bahwa tanggal pembuatan akta pasti selalu sama dengan tanggal isi akta, yaitu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Dengan perkataan lain, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. Hal ini karena tanggal pembuatan akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, tidak ke dalam kepala atau kaki akta. Tegasnya, tanggal menjadi jandanya seorang perempuan dari aspek pendekatan ini dihitung sejak tanggal dikeluarkannya akta cerai.

3. Pendekatan Aspek Yuridis Formal
Yang dimaksud pendekatan dengan aspek yuridis formal ini adalah analisis suatu masalah dengan cara merujukkan kembali kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berfungsi sebagai lex spesialis atau lex generalis. Lex spesialis ialah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan memang diperuntukkan bagi lembaga peradilan agama. Sedangkan, lex generalis adalah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk semua lembaga peradilan di Indonesia, termasuk untuk Pengadilan Agama.[18]


Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni sebagai lex spesialis, bahwa dalam perkara cerai talak, suatu perceraian dianggap terjadi terhitung sejak dikeluarkannya penetapan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat 2, bahwa hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.[19] Penetapan ini dikeluarkan setelah putusan sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yaitu, sebuah putusan yang menetapkan bahwa permohonan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak dikabulkan (pasal 70 ayat 1).[20]


Berhubung di satu sisi terjadinya talak dihitung sejak dikeluarkannya penetapan dan di sisi lain tanggal akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, maka tanggal pembuatan akta cerai senantiasa sama dengan tanggal penetapan. Jadi, yang harus dijadikan standar tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal pembuatan akta, yang selalu sama dengan tanggal penetapan. Walaupun sama, tetapi senantiasa merujukkan kepada tanggal pembuatan akta cerai adalah penting. Sebab jika tidak demikian, maka bisa terjadi kesalahan dan ketidakkonsistenan ketika perceraiannya berupa cerai gugat.


Perlu dicermati pula bahwa bagi cerai gugat, jika gugatan ini dimenangkan oleh pihak penggungat (isteri), maka dikeluarkanlah putusan yang menerangkan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat putus. Akan tetapi, perceraiannya tidak otomatis terjadi pada saat itu.
Pasal 81 ayat 2 menegaskan, "Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap".[21]

Menurut R.Bg. dan H.I.R. (Hukum Acara Perdata) yang merupakan lex generalis bagi Pengadilan Agama, bahwa suatu putusan pengadilan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari sejak dibacakan putusan itu di muka sidang untuk umum, atau dalam kasus verstek (tanpa kehadiran tergugat/termohon) setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan (R.Bg. : 152 : 1 dan H.I.R: 128).[22]


Dengan demikian, perceraian dianggap terjadi setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal dikeluarkan putusan, atau dalam kasus verstek setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan. Pada saat itulah baru terjadi perceraian dan baru pada saat itu panitera Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.”[23]

D. Kesimpulan
1. Tanggal menjadi janda seorang perempuan dihitung sejak dikeluarkannya akta cerai. Yaitu, tanggal yang terletak di bagian atas dalam tubuh akta menurut format blanko akta cerai model A.III.3.
2. Kepaniteraan Pengadilan Agama harus tepat dalam memberikan tanggal akta cerai. Yaitu, tanggal pembuatan akta cerai selalu sama dengan tanggal penetapan (bagi cerai talak), dan selalu sama dengan 14 (empat belas) hari setelah tanggal dikeluarkannya putusan, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan dalam kasus verstek (bagi cerai gugat).
3. Panitera Pengadilan Agama tidak mempunyai pilihan lain dalam memberikan tanggal akta cerai. Tanggal akta harus selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian. Hal ini dikarenakan dalam akta cerai model A.III.3, tanggal pembuatan akta cerai tidak dimasukkan dalam kepala akta atau kaki akta, tetapi justru dimasukkan dalam tubuh akta, yaitu menjadi satu dengan tanggal isi akta. Oleh karenanya, tanggal pengeluaran akta cerai selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.
4. Masa iddah seorang janda dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya akta cerai.
Catatan Kaki:
[1] Sebagai misal, al-Baqarah (2) ayat 233 dan 286.
[2] Dr. Hammudah 'Abd al-'Ati, Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thayib, cet. 1 (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984), hlm. 286.
[3] Ibid., hlm. 286-287.
[4] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif Abu Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Karahah at-Talaq", edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, (ttp., Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 255, hadis nomor 2178. Ini adalah hadis Ibnu Umar.
[5] al-Hafiz Abu 'Abdillah Muhammad Ibni Yazid al-Qazwini Ibni Majah, Sunan Ibni Majah, "10. Kitab at-Talaq", "21. Bab Karahah al-Khul'I li al-Mar'ah", edisi Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi (ttp., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikah, t.t.), juz I : 662, hadis nomor 2055. Ini adalah hadis Sauban.
[6] Dr. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 249.
[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 5 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 426.
[8] Al-Ustad asy-Syaikh 'Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri' wa falsafatuh (ttp. Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 57.
[9] Dr. Ahmad al-Gundur, at-Talaq., hlm. 89 dan 97.
[10] al-Imam al-Qadi Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibni Muhammad Ibni Ahmad Ibni Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), juz II : 46.
[11] Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[12] M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 91-92.
[13] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm. 195.
[14] Ibid., hlm. 205.
[15] Ibid., hlm. 207.
[16] Dr. Sabarti Akhadiyah, Dra. Maidar G. Arsjad, dan Dra. Sakura H. Ridwan, Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia (Jakarta : Erlangga, 1990), hlm. 120.
[17] Dengan sedikit variasi dan lebih rinci, unsur-unsur bagian akta atau surat ini sebagaimana yang dideskripsikan oleh Rasyid dalam menjelaskan isi dan bentuk putusan dan penetapan. Drs. H. Roihan A. Rasyid, Hukum., hlm. 196 dan 206.
[18] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., hlm. 21
[19] Ibid., hlm.262.
[20] Ibid., hlm. 261.
[21] Ibid., hlm. 265
[22] K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata RBG/HIR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.
[23] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., 265

Peta Lokasi KUA Cangkringan


Lihat KUA CANGKRINGAN di peta yang lebih besar