Gedung KUA Kecamatan Cangkringan

Di gedung inilah, Kantor Urusan Agama Kecamatan Cangkringan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Beralamatkan di Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman 55583.

Sarasehan Kaum Rois

Kegiatan sarasehan Rois ini dilaksanakan oleh KUA kecamatan Cangkringan. Menurut Kepala KUA Kecamatan Cangkringan, Eko Mardiono, S.Ag., M.S.I., Sarasehan Kaum Rois tersebut diikuti oleh 125 orang..

Bimbingan Manasik Haji

Para jamaah calon haji kecamatan Cangkringan sedang mengikuti Bimbingan Manasik Haji yang diselenggarakan oleh KUA Kecamatan Cangkringan bekerja sama dengan IPHI Kecamatan setempat.

Bantuan Sosial Belia Mabims

Para generasi muda dari negara-negara MABIMS (Majelis Antarnegara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) melakukan bantuan sosial kepada para korban erupsi Merapi di Selter Gondang III Wukirsari, Cangkringan.

Sarasehan Songsong Ramadan

Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan menjaga ukhuwah Islamiyah, KUA Kecamatan Cangkringan mengadakan Sarasehan Songsong Ramadan.

Songsong Ramadan

Songsong Ramadan

Bansos Belia Mabims

Bansos Belia Mabims

Manasik Haji

Manasik Haji

Sarasehan Rois

Sarasehan Rois

Gedung KUA

Gedung KUA
Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta...............Sebelum Masuk, Silakan Isi Buku Tamu Terlebih Dahulu...............KUA Kecamatan Cangkringan Siap Melayani Anda dengan Ramah dan Amanah...............Pascaerupsi Merapi 2010, Marilah Kita Bangkit dan Bangun Kembali Cangkringan...............Terimakasih atas Kunjungan Anda, Semoga Membawa Manfaat.

Kamis, 23 Juni 2011

Mungkinkah Penghulu Seorang Perempuan?

Oleh: Eko Mardiono

Semenjak kelahirannya sampai sekarang, bahkan untuk masa-masa yang akan datang, kepala KUA (Kantor Urusan Agama) selalu dan akan selalu dijabat oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak akan pernah mendudukinya. Hal ini karena kepala KUA sekaligus ditunjuk sebagai wali hakim, padahal menurut hukum Islam, wali hakim harus seorang laki-laki. Akankah selamanya kaum perempuan di KUA menjadi staf? Pertanyaan ini mengemuka karena di KUA hanya ada dua jabatan, yaitu kepala kantor dan staf. Di dalamnya tidak terdapat jabatan struktural lainnya. Kalaupun ada jabatan fungsional penghulu, itu pun selama ini hanya diduduki oleh kaum laki-laki.

Sebenarnya secercah harapan pernah muncul, yaitu ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah. Menurut KMA ini, kepala KUA tidak sebagai penghulu dan juga tidak sebagai wali hakim. Berdasarkan KMA yang akhirnya dicabut oleh Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 ini, kaum perempuan berpeluang menjabat sebagai kepala KUA. Hanya saja, tidak selang begitu lama keluarlah PMA Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. PMA ini menunjuk kembali kepala KUA sebagai wali hakim. Sejak saat itulah tertutup lagi kesempatan perempuan untuk menduduki pimpinan tertinggi di instansi pemerintah di bawah Kementerian Agama ini.

Pertanyaannnya sekarang adalah masih adakah peluang lain bagi kaum perempuan untuk mengabdikan dan mengaktualisasikan diri di KUA sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya?

Tulisan ini mempunyai sebuah hipotesis bahwa sebenarnya bagi kaum Hawa masih terbuka peluang itu. Mereka bisa menduduki jabatan fungsional penghulu. Sebuah jabatan yang sangat strategis dan prestisius untuk level KUA. Namun, selama ini jabatan fungsional tersebut hanya diduduki oleh kaum laki-laki. Memang, seperti itulah opini publik, bahkan termasuk praktik para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, sangatlah urgen mengemukakan sekaligus mensosialisasikan argumen-argumen yang mendukung bahwa jabatan fungsional penghulu sebetulnya tidak hanya untuk kaum Adam.

Paling tidak ada tiga aspek argumen yang dapat dikemukakan, yakni aspek yuridis formal, agama, dan sosial. Pertama aspek yuridis formal. Menurut PMA Nomor 11 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3, penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Berdasarkan PMA ini tampak bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil itu sendiri bisa laki-laki dan juga bisa perempuan. Mungkin yang menjadi persoalan adalah menurut agama Islam bolehkah seorang perempuan melakukan tugas-tugas kepenghuluan itu? Permasalahannya pun beralih ke aspek agama.

Kedua aspek agama. Agama Islam menentukan bahwa pernikahan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama itu. Suatu pernikahan dihukumi sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun itu adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Tampak bahwa penghulu tidak termasuk di dalamnya.

Memang, selama ini dalam prosesi pelaksanaan akad nikah terdapat tradisi pemberian khutbah dan doa akad nikah. Namun, yang perlu diingat adalah keduanya tidak termasuk rukun akad nikah. Keduanya tidak harus ada. Kalaupun jika dikehendaki keberadaannya, maka pertanyaannya, menurut Islam tidak bolehkah seorang perempuan memberikan khutbah dan doa akad nikah? Jawabannya jelas boleh; dan sebenarnya istilah khutbah nikah bisa saja diganti dengan istilah nasihat perkawinan.

Ada hal lain yang juga akan menjadi persoalan ketika penghulu dijabat oleh seorang perempuan. Yaitu, masih adanya sebagian wali nikah yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu. Padahal, menurut Islam yang bisa mewakili wali nikah hanyalah seorang laki-laki. Sebetulnya persoalan itu pun bisa dicarikan solusinya. Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan sosial dan kebijakan institusional.

Ketiga aspek sosial dan institusional. Terhadap kebiasaan sebagian masyarakat yang masih mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu, dapat ditempuh dua langkah. Pertama, mereka diberi penjelasan bahwa lebih utama apabila mereka sendiri yang menikahkan. Sebelumnya mereka dapat dilatih sampai mampu melaksanakan tugas mulianya itu. Kalaupun mereka tetap mewakilkan kepada penghulu, maka dapat ditempuh langkah kedua. Yakni, dilakukan identifikasi wali nikah yang akan menikahkan sendiri. Kemudian penghulu perempuan diserahi tugas untuk menghadiri pelaksanaan akad nikah yang wali nikahnya akan menikahkan sendiri tersebut.

Memang harus diakui, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih resisten terhadap kehadiran perempuan di ranah publik apalagi yang bersinggungan dengan wilayah keagamaan. Terhadap persoalan krusial ini dapat dilakukan pemetaan, mana yang masuk wilayah konstruksi sosial dan mana yang masuk wilayah ritual keagamaan. Sambil menunggu proses pencerahan ini, penghulu perempuan untuk sementara waktu dapat diserahi tugas-tugas kepenghuluan yang tidak bersinggungan langsung dengan “upacara keagamaan”. Penghulu perempuan dapat saja diserahi tugas untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan nikah, konsultasi/penasihatan perkawinan, dan pengembangan keluarga sakinah. Bahkan lebih daripada itu, mereka dapat diterjunkan di bidang tugas-tugas pengembangan profesi kepenghuluan.

Akan banyak pengaruh positifnya jika di KUA potensi penghulu perempuan diberdayakan secara optimal. Kekurangan jumlah penghulu akan bisa terpenuhi. Bidang tugas kepenghuluan yang selama ini belum terjangkau dapat tertangani. Kesan publik bahwa KUA hanya banyak menangani masalah “ijab qabul” bisa terkikis karena adanya penghulu perempuan yang waktunya tidak banyak tersita untuk menghadiri upacara ijab qabul tersebut. Para pegawai dari kaum Hawa ini pun bisa meniti karir di KUA. Mereka tidak selamanya akan menjadi seorang staf. Semoga bermanfaat.

Jumat, 03 Juni 2011

Optimalisasi Potensi Zakat di Indonesia

Oleh: Eko Mardiono
Tahun 2009 yang lalu pernah dicanangkan oleh Pemerintah  sebagai Tahun Ekonomi Kreatif. Pencanangan ini dilakukan dalam rangka menghadapi resesi ekonomi global. Semua potensi bangsa pun dicoba untuk diberdayakan secara maksimal, termasuk potensi zakat. Menurut BAZNAS, potensi zakat di Indonesia sebesar 19 triliun Rupiah. Menteri Agama, Maftuh M. Basyuni, dalam rapat Panitia Ad Hoc Dewan Perwakilan Daerah pada Selasa, 24 Februari 2009, memberikan beberapa catatan penting tentang pemberdayaan zakat di Indonesia. Menurutnya, walaupun Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah berumur 9 tahun tetapi belum terberdayakan secara optimal.
Oleh karena itu, demikian Basyuni, Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat perlu direvisi. Ada beberapa hal yang perlu diupayakan untuk dimasukkan dalam undang-undang yang baru. Pertama, umat Islam yang sudah mampu mengeluarkan zakat (muzakki) akan dikenai sanksi bila ia tidak menunaikannya. Kedua, Badan Amil Zakat (BAZ) akan dijadikan sebagai satu-satunya lembaga pengelola zakat dari tingkat nasional sampai tingkat desa/kelurahan. Ketiga, akan diimplementasikan sebuah ketentuan bahwa pengeluaran zakat dikurangkan terhadap beban kewajiban pajak. Persoalannya sekarang adalah bagaimana potensi zakat di Indonesia ke depan diformulasikan agar dapat diterima oleh semua kalangan?

Jika dicermati, sebenarnya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dalam memberdayakan potensi zakat lebih menekankan pada aspek profesionalitas, kredibilitas, dan akuntabilitas pengelola zakat daripada memberikan sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya. Dengan model pendekatan ini, diharapkan para muzakki akan menjadi berbondong-bondong untuk menyalurkan zakatnya. Hal ini karena tidak semua muzakki yang enggan mengeluarkan zakat disebabkan oleh ketidaksadaran tentang ajaran agamanya. Banyak di antara mereka yang telah mengamalkannya. Hanya saja, mereka lebih memilih lembaga atau caranya sendiri yang mereka yakini bisa menjadikan zakatnya sampai pada sasarannya.

Oleh sebab itu, kalaupun dalam revisi Undang-undang tentang Zakat ini diusulkan agar para muzakki yang enggan mengeluarkan zakatnya diberi sanksi, maka persoalannya yang paling krusial adalah bagaimana pihak pemerintah mampu menyakinkan publik bahwa dana zakat mereka akan dikelola secara amanah dan profesional. Pencitraan dan pembuktian oleh Pemerintah ini menjadi semakin signifikan setelah dalam Undang-undang yang baru juga diusulkan agar BAZ dijadikan sebagai satu-satunya pengelola zakat. Padahal, realita menunjukkan bahwa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta lebih diminati para muzakki daripada BAZ. LAZ dinilai lebih kreatif, inovatif, dan profesional. Sebaliknya, masih diingat oleh bangsa ini, ada beberapa Surat Keputusan Bupati (BAZDA) tentang pembayaran zakat profesi di daerah yang didemo oleh para muzakkinya. Melihat realita sosial ini, eksistensi LAZ yang telah tumbuh dan berkembang subur di masyarakat tentu perlu tetap diakomodir. Yang justru mendesak untuk ditegaskan adalah siapa yang menjadi regulator dan operator. Sehingga, BAZ dan LAZ dapat berjalan sinergis.

Issu mengenai pengeluaran zakat dikurangkan terhadap beban kewajiban pajak adalah sesuatu yang sangat positif. Memang di kalangan pakar hukum Islam terjadi diskusi yang panjang, apakah seorang muslim akan dikenai beban salah satu dari zakat dan pajak atau keduanya. Dalam catatan Qardawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian zakat-pajak, tetapi baru pada batas idealita. Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa membayar pajak dengan niat zakat dibolehkan, dan karenanya kaum Muslim cukup membayar pajak. Sementara itu, Ibn Hajar al-Haysyami dari mazhab Syafi’i, Ibn Abidin dari mazhab Hanafi, dan Syekh Ulaith dari mazhab Maliki berpendapat sebaliknya, dan karenanya pembayaran pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat.

Upaya pengintegrasian zakat dan pajak yang komprehensif pernah dilakukan oleh Masdar Farid Mas’udi. Masdar dalam bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat (pajak) dalam Islam mengajukan tesis penyatuan keduanya untuk mewujudkan cita agama kerakyatan. Ia menawarkan kerangka filosofis dan epistemologis yang dapat diimplementasikan secara lebih konkret dalam kebijakan fiskal. Tidak perlu dikhawatirkan kebijakan pengintegrasian keduanya akan mengakibatkan penurunan pendapatan negara dari sektor pajak. Kebijakan fiskal ini justru bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Kesadaran membayar zakat yang dilandasi motivasi ajaran agama dengan sendirinya akan memacu kesadaran membayar pajak. Zakat tertunaikan, pajak terbayarkan, dan masyarakat pun tidak terkenai beban ganda.

Dalam proses revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, memperhatikan dinamika sosial keagamaan masyarakat sangatlah urgen. Undang-undang tentang Zakat yang baru akan menjadi responsif apabila proses pembuatannya bersifat partisipatif dan aspiratif. Dinilai partisipasif jika ia mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Dinyatakan aspiratif bila ia memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukumnya dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Berbeda dengan Undang-undang yang konservatif, ia bersifat sentralistik, dalam arti ia lebih didominasi oleh lembaga negara, terutama pemegang kekuasaan eksekutif. Selain itu, ia juga bersifat positivis-instrumentalis, artinya ia memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.Lantas, bagaimana nanti hasil revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yang sekarang sedang digodog di lembaga legislatif, apakah ia bersifat responsif atau konservatif? Semuanya akan berpulang kepada para legislator dan pembuat kebijakan. Yang pasti, zakat merupakan salah satu multiplier ekonomi bangsa yang sangat potensial. Ia bisa dijadikan sebagai salah satu solusi dalam menghadapi resesi ekonomi global.

Peta Lokasi KUA Cangkringan


Lihat KUA CANGKRINGAN di peta yang lebih besar